Selasa, 01 November 2011

JI’ALAH & HIWALAH


JI’ALAH
A.    Pengertian
Ji’alah menurut bahasa adalah “nama yang digunakan seseorang pada barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan.”Sedangkan menurut istilah syara’ ialah "Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan." Atau Secara istilah, menurut madzab Malikiyah, ju’alah adalah akad sewa (ijarah) atas semua manfaat yang belum diketahui keberhasilannya (terdapat probabilitas atas keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan suatu pekerjaan).
Seperti halnya ucapan seseorang, barang siapa yang mampu menemukan mobil saya yang hilng, atau barang siapa yang mampu menggali sumur ini hingga mengalir airnya, maka ia berhak mendapatkan hadiah yang saya janjikan. Atau dengan perkataan lain mengenai hal ini bahwa Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan oleh pihak yang kehilangan. Dapat dicontohkan bilamana ada seseorang yang kehilangan kuda, kemudian dia berkata, "Barangsiapa yang mendapatkan kudaku yang telah hilang dan dia kembalikan kepadaku, maka aku bayar sekian."
Hal ini sedikit berbeda dengan pemaknaan kata ji'alah yang ada di dalam kitab fatkhul qorib di atas dengan pemaknaan kata ji'alah di dalam kitab kifayatur akhyar edisi terjemah[1]. Yang umum digunakan adalah kata ji'alah dengan pemaknaan sayembara, namun di dalam penerjemahan kitab kifayatul akhar yang digunakan adalah ja'alah dengan pemaknaan upahan.Di bawah ini akan dikutipkan penerjemahan yang ada di dalam kitab kifayatul akhyar.
Di dalam kitab kifayatul akhyar edisi terjemahan manyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ja'alah adalah mensyaratkan bila dapat dikembalikan binatangnya yang hilang, akan dibayar upahan yang tertentu. Maka barang siapa yang mengembalikan, dia berhak menerima upahan yang disyaratkan itu. Kata ja'alah boleh juga disebut dengan kata ji'alah. Sama halnya dengan pendapat yang berada di dalam kitab kifayatul akhyar, menurut al-Jazairi yang dikutip oleh Ismail Nawawi mengatakan bahwa, pengupahan atau ja'alah menurut bahasa adalah apa yang diberikan kepada seseoarng karena sesuatu yang dikerjakannya. Sedangkan pengupahan atau ji'alah menurut syari'at, menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui. Misalnya, seseoarang berkata "barang siapa membangun tembok ini untukku, ia berhak mendapat uang sekian." Maka orang yang membangun tembok untuknya berhak atas hadiah yang ia sediakan, banyak atau sedikit.
Berbeda dengan ketiga penggunaan penetapan kata di dalam masing-masing kitab, di dalam kitab Bidayatul Mujtahid, mengenai pembahasan pada tema ini. Ji'alah ialah pemberian upah (hadiah) atas suatu manfa'at yang diduka bakal terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang dokter, atau kepandaian dari seorang guru, atau pencari/penemu hamba yang lari.
Akad Ju’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikannya, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah, ju’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Menurut ahli hukum (qonun), ju’alah diartikan dengan hadiah yang dijanjikan ketika seseorang berhasil melakukan sebuah pekerjaan.
Jialah juga bermakna menetapkan kebebasan bekerja pada orang yang disuruh yang nantinya akan diberi ganti/upah atas pekerjaannya dan gantinya itu sudah ditentukan. Contohnya: Sayembara.
B. Rukun Ji’alah
            Rukun ji’alah ialah[2] :
1. Adanya 2 orang yang berakad yaitu Ja'il dan 'Amil.
a. Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
b. 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu orang-orang tertentu (bebas).
2. Shighat. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja,  juga tidak ditentukan waktunya.
3. Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang memiliki harta dalam sayembara tersebut).
4. Upah. Harta yang wajib diberikan oleh ja'il kepada 'amil. Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, "Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekain." kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya
 C. Yang Membatalkan Ji’alah
Madzab Malikiyah menyatakan, akad ju’alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (‘amil). Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ju’alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalakan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka ’amil boleh mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan. Atau dengan kata lain, masing-masing pihak boleh menghentikan (membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.
 D. Landasan Syari’ah
Menurut madzab Hanafiyah, akad ju’alah tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur gharar di dalamnya. Yakni, ketidakjelasan atas pekerjaan dan jangka waktu yang ditentukan. Hal ini ketika dianalogkan dengan akad ijarah yang mensyaratkan adanya kejelasan atas pekerjaan, upah dan jangka waktu. Namun demikian, ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang  meperbolehkannya, dengan dasar istihsan (karena ada nilai manfaat).
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, dan hanabilah, secara syar’i, akad ju’alah diperbolehkan. Dengan landasarn kisah Nabi Yusuf beserta saudaranya.Firman Allah :
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (Q.S Yusuf : 72)
Begitu juga dengan sabda Rasulullah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Jama’ah kecuali Imam Nasa’I dari Abu Sa’id al-Khudri. Suatu ketika sahabat Rasulullah mendatangkan sebuah perkampungan Arab. Namun mereka tidak dilayani layaknya seorang tamu. Tiba-tiba pemimpin merka terserang penyakit, kemudian penduduk desa meminta sahabat untuk menyembuhkannya. Sahabat Rasul meng-iya-kan dengan catatan mereka diberi upah. Syarat ini disetujui, kemudian seorang sahabat membaca al-Fatihah, maka akhirnya pemimpin tersebut sembuh. Kemudian, hadiah pun diberikan. Akan tetapi sahabat tidak mau menerima sebelum lapor dari Rasulullah, maka Rasulullah tersenyum melihat atas laporan kejadian itu.
E. Hikmah ji’alah
Pada hakikatnya terdapat beberapa hikmah ji’alah antara lain[3] :
a.       Timbulnya rasa saling tolong-menolong sesama umat manusia.
b.      Memberikan dorongan agar seseorang tidak berkeinginan memiliki barang yang bukan haknya dan segera mengembalikannya kepada pemiliknya.
c.       Membuka lapangan kerja sementara kepada orang yang membutuhkan pekerjaan.
F. Kesimpulan
Ji’alah menurut Bahasa adalah “nama yang digunakan seseorang pada barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan.” Sedangkan menurut istilah syara’ ialah "Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan."Rukun ji’alah ialah;
1. Adanya 2 orang yang berakad yaitu Ja'il dan 'Amil.
2. Shighat.
3. Pekerjaan
4. Upah
Masing-masing pihak boleh menghentikan (membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.

Landasan diperbolehkannya ji’alah sebagaimana di dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat : 72 ialah:
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (Q.S.Yusuf:72)


HIWALAH

A.    Pengertian
Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.    
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
B.     Dasar Hukum
Islam membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).

Pada hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal ‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).
Dan Menurut hadist riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Dan menurut hadist riwayat Ahmad dan Baihaqi[4] :
 مطل ا لغني ظلم فا ذااحيل ا حد كم على ملئ فليحتل
 واه أ حمد و ا لبيهقى))
            “Orang yang mampu membayar hutang, haram atasnya melalaikan utangnya. Maka apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada orang lain, pemindahan itu hendaklah di terima, asal yang lain itu mampu membayar.” 
Dan menurut Ijma para Ulama, akad hiwalah telah disepakati boleh untuk dilakukan. Hal ini didasari kepada kaidah fiqih
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

C.     Rukun Hiwalah dan Syarat Hiwalah
a.       Adapun rukun hiwalah ialah[5]:
1)      Harus ada muhil (orang yang memindahkan utang).
2)      Harus ada muhtl (orang yang menerima kepindahan utang).
3)      Harus muhal’alaih (yang dipinjam kan piutangnya).
4)      Adanya utang muhil kepada muhtal.
5)      Adanya utang muhal’alaih kepada muhil.
6)      Sighat (ijab-qabul) antara muhil dan muhtal.
b.      Syarat sahnya hiwalah
1)      Kerelaan orang yang mengalihkan utang (muhil).
2)      Persetujuan orang yang berpiutang (muhal).
3)      Keadaan hutang (yang di pindahkan) itu sudah tetap menjadi tanggungan, artinya bukan piutang yang kemungkinan dapat hapus, seperti piutang mas kawin dari istri yang belum berkumpul dengan suaminya.
4)      Adanya persamaan hutang yang menjadi tanggungan muthal dan muthal’alaih, baik dalam jenisnya maupun waktu bayar dan waktu penanguhannya

D.    Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak  hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.

E.     Fatwa MUI Tentang Hiwalah
 Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa[6] No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah disebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
F.      Jenis-jenis Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah  Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah Muqayyadah adalah Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya. Maka dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih 2.
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya, karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya sehingga didalam rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.
G.    Aplikasi Hiwalah Dalam Institusi Keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.


H.  Hikmah Hiwalah
     Adapun beberapa hikmah hiwalah ialah :
a.       Timbul rasa saling percaya antara si pemberi hutang dengan si peminjam.
b.      Terjaminnya harta si pemberi hutang  pada si peminjam.

I.  Kesimpulan
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).

J.   

Daftar Pustaka

Amrullah, DRS.MOH,  Fiqih untu Aliyah kelas II, CV Armico Bandung, 1995
Rasjid, H.Sulaiman, Fiqih islam, Sinar Baru Algensindo, 2010
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 13, PT. Al- Ma’ Arif Bandung, 1988
As-Sa’di, Syaik Abdur Rahman Nashir, Edisi Indonesia Intisari Fiqih Islam, Yayasan Al-Sofwa Jakarta, 2008
blog chokogitho, dipotskan oleh H-Mied
blog poin view of islam, di postkan oleh Rhesa yogaswara  



[1] Saya mengambil dari blog chokoghito: ji’alah (Fiqih) yang di poskan oleh H-mied beliau mengambil dari kitab kifayatur akhyar edisi terjemah Imam Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husain tahun 2003 penerbit  CV Bina Ilmu Surabaya
2 DRS. Moh .Amrullah,  Fiqh Aliyah Kelas II. Bandung , 1995
[3] ibd
[4]H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung, 2010.
[5]  DRS. Moh .Amrullah,  fiqh aliyah kelas II. Bandung , 1995.
[6] Saya ambil dari blog poin of view in islam by Rhesa yogaswara dengan judul konsep akad hiwalah dalam fiqh muamalah di postkan  15 april 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar