Senin, 31 Oktober 2011

PEMBAHASAN TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT DILIHAT DARI SEGI BENTUKNYA

Sudah menjadi hukum alam sebagai sunatullah/ketentuan yang merupakan takdir Tuhan Yang Maha Esa, bahwa manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri-sendiri, melainkan  yang satu memerlukan yang kepada lainnya (zoon politicon). Agama islam mengajarkan, bahwa manusia dijadikan dari berbagai jenis (laki-laki dan perempuan) dan berbagai jenis kelompok/ suku/ bangsa yang bertujuan satu sama lain, untuk saling berkenalan, saling berkepentingan, saling bekerja sama untuk sama-sama memelihara dan membina kehidupan dari berbagai kebutuhan dan mempertahankan diri dari berbagai ganguan dan ancaman. Tujuan akhir adalah untuk mewujudkan perdamaian, kerukunan dan ketentraman bagi kesejahteraan hidupnya. Karena itulah maka manusia berupaya hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
Van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan bahwa untuk mengetahui hukum, perlu diselidiki pada waktu apapun dan diderah manapun sifat dan susunan badan-badan persteruan hukum, di mana orang-orang yang di kuasai oleh hukum itu hidup dan berkembang. Sedangkan Ter Haar menegaskan bahwa di seluruh kepulauan indonesia pada tingkat rakyat jelata terhadap golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan batin. Golangan-golongan itu  mempunyai  tata susunan yang tetap dan kekal dan masing-masing orang mengalami kehidupan yang wajar seuai dengan kodrat alam. Persekutuan hukum semacam itu merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta  memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayan materil dan kekayaan immateril(Surojo Wignjodipuro, 1979: 86)
Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama maka masing-masing mempunyai dasar dan bentuknya. Menurut Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial); kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977;21 dan seterusnya). Dari sudut bentuknya maka masyarakat hukum adat dapat dibagi tiga macam:
a.        Masyarakat yang berdiri sendiri disebut (tunggal ).
b.      Menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah disebut: (beritngkat )
c.       Sedangkan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat (berangkai ).
Dengan demikian dapat di peroleh suatu skema dari dasar dan bentuk masyarakat hukum adat, sebagai berikut:









Secara teoritis, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi, sebagai berikut:
1.      Masyarakat hukum adat genealogis yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai

2.      Masyarakat hukum adat teritorial yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai
3.      Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaiknya; hal itu tergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai
Suatu contoh masyarakat hukum adat yang di ambil berdasarkan data primer, adalah masyarakat hukum adat yang di jumpai di daerah Lampung. Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas; faktor teritorial baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor penting. Kesatuan genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebudayaan) yang di daerah pesisir dinamakan suku-asal. Tidak diketahui dengan pasti apakah wilayah suatu kebudayaan adalah bertepatan dengan daerah kekuasaan para ratu, Umpu maupun Menak. Buay yang pada hakikatnya merupakan clan, mendiami wilayah yang dinamakan Marga (Anek, Pekon atau umumnya dinamakan kampung), yang didiami beberapa suku yang merupakan bagian dari pada buay. Jadi, suatu suku bagian dari clan.
Kadang-kadang, sebuah tiyuh di diami oleh dua, sampai sepuluh suku. Suku-suku tersebut masing-masing mencakup beberapa canki yang merupakan keluarga besar sedangkan canki terbentuk dari beberapa nuwo ( yang merupakan keluarga batih). Nuwo, canki maupun suku, dapat mempunyai tanah yang di kerjakan  yang dinamakan umbul atau umbulan, tanah mana dikerjakan secara kolektif ( tanah di kerjakan secara perorangan disebut “umo”). Mula-mula umbul atau umbulan bersifat semi permanen akan tetapi, mungkin pula menjadi suatu tempat usaha permanen, sehingga tempat-tempat kediaman di sekitarnya, sesuai dengan patokan menurut hukum setempat, dapat di resmikan menjadi canki, suku dan selanjutnya
Jelaslah, bahwa marga dan tiyuh menunjuk pada wilayah, sedangkan buay, suku, canki dan nuwo secara tegas pada suatu kesatuan genealogis. Maka, menurut dasar dan bentuknya, masyarakat Lampung Pepadon merupakan masyarakat hukum adat yang genealogis-teritorial dan bertinggkat. Dengan gambaran sebagai berikut:
Dasar Genealogis                               Dasar Teritorial
Kebudayaan/Buay...........................  Marga
Suku (sub-clan)...............................  Tiyuh
Canki..............................................  Umbulan
Nuwo..............................................  Umbul



Contoh-contoh tersebut di atas masih dapat diperkaya dengan kenyataan-kenyataan yang dapat dijumpai di daerah-daerah lainnya. Daerah Lampung dan Minagkabau diketentgahkan secara singkat, oleh karena dapat menggambarkan betapa rumitnya organisasi masyarakat hukum adat tersebut. Akan tetapi, dengan mempergunakan paradigma tertentu, maka kerumitan tersebut akan tersebut akan dapat diatasi, sehingga akan tersajikan unsur-unsurnya yang pokok saja.



v  KESIMPULAN
Masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial); kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977;21 dan seterusnya). Dari sudut bentuknya maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri (tunggal ), menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah (bertingkat ), serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat (berangkai ). Masing-masing bentuk masyarakat hukum adat tersebut, dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat dan berangkai.
Secara teoritis, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi, sebagai berikut:
1.      Masyarakat hukum adat genealogis yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai


2.      Masyarakat hukum adat teritorial yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai
3.      Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaiknya; hal itu tergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpenga ruh) yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai



DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Ismail, H. Badruzzaman, SH, M. HUM, Bunga Rampai Hukum Adat, CV Gua Hira’, Banda Aceh, 2003.
www.google.com
www.wikipedia.com

HUKUM PERJANJIAN



A.    Pengaturan Hukum Perjanjian
Hukum perjanjian ialah hukum yang mengatur mengenai hal-hal yanng berhubungan dengan masalah perjanjian, yang di buat oleh dua atau lebih orang. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang di buat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan  pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Pengaturan hukum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat ditemukan di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan di atur secara khusus  dari pasal 1313 hingga sampai pasal 1351 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan subjudul besar “bab II: perikatan-perikatan yang di lahirkan dari kontrak atau persetujuan”. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan ynag lebih luas cakupannya.
B.     Pengertian Perjanjian
Menurut ketentuen pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Definisi ini jelas telah menunjukkan telah terjadi persetujuan ( persepakatan) antara pihak yang satu ( kreditor) dan pihak yang lain (debitor ). Dengan kata lain perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Dengan perjanjian ini lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) atas satu atau lebih orang ( pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus di penuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selasu ada dua pihak yaitu: kreditor dan debitor.

C.     Asas-asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagai berikut
Asas kebebasan berkontrak
Setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun yang belum di atur dalam undang-undang. Akan tetapi kebebasan tersebut di batasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Asas pelengkapa
Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang. Kan tetapi, apabiladalam perjanjian yang mereka buat tidak di tentukan lain, berlakulah tentuan undang-undang. Asas ini hanya menganai rumusan hak dan kewajiban pihak-pihak.
Asas konsekuensi
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus ) antara pihak-pihak mengenai perjanjian.
Asas obligator
Asas ini mempunyai ati bahwa perjanjian yang di buat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik.
D.    Klasifikasi perjanjian
Berdasarkan pada kriteria masing-masing,perjanjian dapat diklasifikasikan menjadi lima macam.
1)      perjanjian dua pihak dan sepihak
pembedaan ini  di dasarkan pada kewajiban berprestas. Perjanjian dua pihak adalah perjanjian yang mewajibkan kedua pihak saling berprestasi. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan satu pihak memberi prestasi dan pihak yang lain menerima prestasi.
2)      Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perbedaan ini di dasarkan pada nama yang sudah diberikan oleh pembentuk undang-undang pada perjanjian khusus dan tidak ada nama.pemberian nama di serahkan pada praktis hukum. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah memiliki nama tertentu yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas.
3)      Perjanjian obligator dan kedendaan
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menciptakan hak dan kewajiba, misalnya dalam jual beli, sejak terjadi persetujuan (konsensus) mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga benda, penjual berhak atas pembayaran harga dan pembeli berhak atas barang yang di beli.
4)      Perjanjian konsensual dan real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang terjadinya itu baru dalam tarap menimbulakn hakdan kewajiban bagi pihak-pihak. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian, yaitu pengalihan hak.
5)      Perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga
Pada umumnya perjanjian yang diadakan oleh pihak-pihak itu adalah perjanjian antara pihak kesatu dan pihak kedua, yang mengikat pihak itu sendiri. Dengan demikian, berlakunya perjanjian juga hanya untuk kepentingan pihak kesatu dan kedua (pihak-pihak yang berjanji). Akan tetapi masih, ada lagi perjanjian yang berlakunya itu untuk kepentingan pihak ketiga yaitu ahli waris dan lain-lain.
E.     Unsur dan Syarat Perjanjian
Perjanjian yang sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur  dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian ynag sah dan mengikat diakui dan memiliki akibat hukum. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP perdata, setiap perjanjian selalu memiliki empat unsur dan pada setiap unsur melekat syarat-syarat yang di tentukan undang-undang.
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat seperti yang ditentukan tidak akan di akui oleh hukum walaupun di akui oleh yang membuatnya.
1). Persetujuan kehendak
Persetujuan kehendak adalah persepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok (esensi) perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu bersifat final tidak lagi tawar-menawar.
2). Kewenangan (kecakapan)
Unsur perbuatan (kewenangan ), setiap pihak dalam perjanjian wenang melakukan perbuatan hukum menurut undang-undang. Pihak-pihak yang bersangkutang harus memenuhi syarat-syarat, yaitu sudah dewasa, artinya berumur 21 tahun penuh; walaupun belum 21tahun penuh, tetapi sudah pernah kawin; sehat akal (tidak gila ); tidak di bawah pengampunan, dan memiliki surat kuasa apabila mewakili pihak lain.



            3) objek (prestasi ) Tertentu
Unsur objek (prestasi ) tertentu atau dapat di tentukan berupa memberikan suatu benda bergerak atau tidak bergerak, berujud atau tidak berujud; melakukan sesuatu perbuatan tertentu; atau tidak melakukan perbuatan tertentu.suatu ubjek tertentu atau prestasi tertentu merupakan objek perjanjian, prestasi yang wajib di penuhi. Kejelasan mengenai objek perjanjian adalah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak. Jika objek perjanjian atau prestasi itu kabur. Tidak jelas, sulit, bahkan tidak mungkin di laksanakan, perjanjian itu batal.
            4) Tujuan perjanjian
                        Yaitu tujuan, apa yang ingin dicapai pihak itu harus memenuhi syarat halal. Tujuan perjanjian yang akan dicapai pihak-pihak itu sifatnya harus halal. Artinya, tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan masyarakat (Pasal 1337 KUHPdt). Kausa yang halal dalam pasal 1320 KUHPdt itu bukan sebab yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan isi perjanjian itu sendiri menjadi tujuan yang akan dicapai pihak-pihak. Undang-undang tidak memedulikan apa yang menjadi sebab pihak-pihak mengadakan perjanjian, tetapi yang diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” sebagai tujuan yang hendak dicapai pihak-pihak itu.
5)      Akibat Hukum Perjanjian Sah
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUHPdt, perjanjian yang dibuat dengan sah dan mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya, tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan i’tiqad yang baik.
a.       Berlaku sebagai undang-undang
Artinya, perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya
b.      Tidak dapat dibatalkan sepihak
Karena perjanjian adalah perstujuan kedua belah pihak, jika akan dibatalkan harus dengan persetujuan kedua belah pihak juga. Aka tetapi, jika ada alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat dibatalkan secara sepihak.
c.       Pelaksanaan dengan i’tiqad baik
Yang dimaksud dengan i’tiqad baik ( te goeder trouw, in good faith) dalam pasal 1338 KUHPdt adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakan pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar.
F.      Pelaksanaan Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian adalah perbuatan merealisasikan atau memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati oleh pihak-pihak sehingga tercapai tujuan mereka. Masing-masing pihak melaksanakan dengan sempurna dan i’tiqad baik sesuai dengan persetujuan yang telah disepakati.
1.      Kewajiban Pokok, Pelengkap, Diam-diam
a.       Kewajiban Pokok
Kewajiban pokok adalah kewajiban fundamental essencial dalam setiap perjanjian. Jika kewajiban pokok tidak dipenuhi, akan mempengaruhi tujuan perjanjian.
b.      Kewajiban Pelengkap
Kewajiban Pelengkap adalah kewajiban yang kurang penting, yang sifatnya hanya melengkapi kewajiban pokok (foemal procedural). Tidak ditaati kewajiban pelengkap tidak akan mempengaruhi tujuan utama dari perjanjian, membatalkannya atau memutuskannya, tetapi mungkin hanya akan menimbulkan kerugian.
c.       Kewajiban Diam-diam
Kewajiban diam-diam dalam perjanjian hanya terjadi dalam hal yang tidak ada ketentuan tegas. Akan tetapi, kewajiban diam-diam umumnya dapat dikesampingkan oleh kewajiban yang tegas mengenai akibat yang terjadi.

2.      Pembayaran
Pihak yang melakuka pembayaran adalah debitor atau orang lain atas nama debitor, atas dasar surat kuasa khusus. Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah mata uang, tetapi ada juga yang memakai valuta asing, misalnya, dolar amerika atau Euro mata uang bersama di negara-negara Erofa.
Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian tidak ditentukan tepatnya. Maka pembayaran harus dilakukan di tempat dimana benda itu berada ketika membuat perjanjian.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran dibebankan kepada debitor (Pasal 1395 KUHPdt).
3.      Penyerahan Benda
Setip penyerahan yang memuat tujuan memindahkan penguasaan dan/ atau hak milik perlu melakukan penyerahan bendanya. Penyerahan ada dua macam yaitu: penyerahan hak milik dan penyerahan penguasaan benda.
4.      Pelayanan Jasa
Pelayanan jasa adalah memberikan pelayanan dengan melakukan perbuatan tertentu, baik dengan menggunakan tenaga fisik saja maupun dengan keahlian atau alat tertentu, baik dengan upah maupun tanpa upah.
5.      Klausula Eksonerasi
Klausula Eksonerasi  adalah perjanjian yang di buat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat membatasi tanggung jawab debitor

6.      Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian
Menerut ketentuan pasal 1342 KUHPerdata, jika kata-kata yang di gunakan dalam perjanjian cukup jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang dari kata-kata itu dengan jalan penapsiran.
G.    Kesimpulan
Hukum perjanjian ialah hukum yang mengatur mengenai hal-hal yanng berhubungan dengan masalah perjanjian, yang di buat oleh dua atau lebih orang. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang di buat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan  pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Pengaturan hukum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat ditemukan di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan di atur secara khusus  dari pasal 1313 hingga sampai pasal 1351 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan subjudul besar “bab II: perikatan-perikatan yang di lahirkan dari kontrak atau persetujuan”. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya.



DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, s.if. prof Abdul kadir. Hukum perdata indonesia. Bandung PT Citra aditya bakti ,2010
SH.,MLI., Suharnoko, Hukum Perjanjian teori dan analisis kasus, jakarta, prenada media, 2004
Widjaja, Gunawan. Memahami prinsip keterbukaan (Aanvullend ) dalam hukum perdata. Jakarta, PT Raja Grafindo persada, 2006

PENDAPAT YANG MENENTANG KEBERADAAN HUKUM ISLAM PADA ABAD PERTAMA HIJRAH

            Pendapat para sarjana Barat tentang hokum Islam dan peranan Nabi Muhammad sebagai pembentuk hukum Islam. Joseph Shacht menyatakan bahwa hukum islam belum ada pada abad pertama hijrah, karena Nabi tidak memiliki alasan untuk mengubah adat yang berlaku pada masa itu dal;am masyarakat, disebabkan Nabi ada hanya uuntuk mengajari manusia berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat agar dapat di masukkan ke dalam syurga.
Muhammad dan Al- Qur’an
            Menurut Schacht, ketika berada di Mekkah, Muhammad menyatakan bahwa dirinya sebagai “pembawa pesan dari Allah” yang sangat tidak senang ketika kaum kafir Quraisy menuduhnya sebagai kahin. Ketika membacakan ayat-ayat Al-Qur’an Muhammad tidak lebih seperti para kahin  yang sedang membaca jampi-jampi, sama halnya jika memerankan penengah di antara kasus-kasus yang terjadi meruapakan peran para kahin, begitulah menurut mereka. Schacht  mencontohkan peran Nabi Muhammads ketika menjadi hakam dalam kasus perkawinan.
            Schacht juga menambahkan bahwa Muhammad mempunyai doronga politik yang kuat, di mana  setelah berhasil imigrasi ke Madinah ia membangun masyarakat baru sebagai sebuah peningkatan dalam ambisi potiliknya. Ia hanya tertarik pada permasalahan politik dibandingkan permasalahn hukum. Pernyataan ini sejaln sebaimana Ignaz Goldziher, yang mengatakan: “ketika di Madinah Muhammad juga masih memerankan perannya sebagai ‘pemberi peringatan’, yang kerasulannya berubah mejadi bentuk yang baru yaitu tidak hanya sebagai penyampai  wahyu. Tapi, menjadikannya sebagai penyerang, penakluk, dan kepala Negara.”
            Muhammad dalam upaya meraih ambisi politiknya, menurut Schacht, memerlukan sistem kombinasi, yaitu tugas-tugas hukum dan kewajiban-kewajiban moral yang didukung dengan semangat agama. C. Snouck Hurgronje mengatakan: “Muhammad sadarbahwa Ia tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk menangani masalah-masalah hukum, kecuali jika keadaan telah sangat mendesak.” Emile Tyan sejalan dengannya menyatakan: “seseorang akan sangat mudah meneliti hasil kerja Muhammad yang tidak bertujuan untuk membentuk sistem hukum baru maupun legislasi baru.” Hal tersebut dibuktikan dengan dikembangkannya ajaran-ajaran dari luar. Contohnya adalah larangan pengambilan riba yang merupakan inspirasi dari pergaulannya dengan Yahudi Madinah, dan prinsip retaliasi terhadap pembunuhan dan pencacatan tubuh yang didasari oleh Perjanjian lama Yahudi.
            Menurut Schacht Al-Qur’an hanya focus kepada etika dan norma-norma hukum, seperi anjuran untuk memenuhi perjanjian, memberikan kesaksian, dan tidak menipu. Al-Qur’an tidak menjelaskan akibat-akibat hukum yang tergambar dengan jelas di dalamnya. Hanya ada ancaman neraka terhadap orang yang berbuat dosa.
            Al-Qur’an hanya mengulangi sesuatu yang terjadi pada masyarakat pra-Islam seperti menuliskan sebuah perjanjian, menghadirkan saksi, member garansi bila tidak ada saksi, memenuhi kontrak yang telah disetujui, dan mengembalikan amanah. Al-Qur’qn juga mengenalkan hukum perang yang merupakan kebiasaan pra-Islam. Al-Qur’an memperkenelkan hukum family yang mengatur perlakuan terhadap wanita, anak-anak, anak yatim, dan budak.
            Sikap hukum Al-Qur’an dan ambisi politik yang ada pada Muhammad berjalan seiring. Sehingga dapat dikatakan bahwa Muhammad tidak berperan sedikitpun dalam pembentukan hukum Islam.
Abad Pertama Hijrah
            Pendapat yang dikemukakan Joseph Schacht dalam mendukung teorin ya adalah keadaan setelah Nabi Muhammad wafat. Saat itu, kekuasaan politik dipegang oleh khalifah. Juynboll pendukung teori Schacht, menjelaskan bahwa sistem yang ditetapkan saat itu disesuaikan menurut standar masing-masing. Permasalahan yang timbul diselesaikan menurut jalan pikikran masing-masing, walaupun masyarakat diatur atas dasar semangat kerasulan.
            H.A. R Gibb menyatakan istialh sunnah adalah kebiasaan dalam sebuah komunitas yang disampaikan secara lisan. Menurut Ignaz Goldziher, Islam tidak perlu menciptakan konsep sunnah dalam praktek hidup, karena pada masyarakat Arab pra-Islam sunnah berarti peraturan  yang sesuai dengan tradisi Arab dan warisa nenek moyang, serta adat kebiasaan, istilah sunnah tetap dipergunakan seperti sebelumnya hanya saja sedikit dipengaruhi oleh Islam.
            Dalam konsep para suksesor Nbi Muhammad dan masyarakat Islam, Sunnah adalah segala perbuatan yang dapat dibuktikan atau pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Oleh sebab itu, konsep sunnah merupakan variasi dari konsep Arab kuno.
            Menurut Schacht, dua kalifah islam, abu Bakar dan Umar memakai istilah sunnah bukan dalam konteks hokum, melainkan dalam konteks politik yang berarti kebijaksanaan dan adminisrtrasi Kekalifahan. Pada daerah di luar arab, konsep sunnah juga digunakan dan di kombinasikan  dengan sunnah yang ada pada daerah taklukannya untukmenyelesaikan persoalan masyarakat muslim. Ini membuktikan islam sebagai agam yang flrksibel pada masyarakat daerah tersebut. Kemudian Schacht menyimpulkan bahwa pada abad pertama hijrah, hokum islam dalam istilah teknis, belum muncul.sama halnya pada masa nabi Muhammad, hukum seperti tersebut berada di luar agama.
            Masih menurut Schacht, periode dinasti Umayyah  merupakan periode yang sangat menentukan dalam perkembangan hukum islam, sebenarnya dinasti umayyah tidak terlalu concent terhadap agama dan perangkat hokum lainya, akan tetapi mereka lebih memfokuskan diri pada administrasi bidang politik. Kemudian seiring berjalannya waktu mereka berhasil menetapkan apa yang disebut sebagai jalan hidup yang islami. Mereka juga mensurvei lapangan hokum termasuk administrasi dan praktek-praktek hokum yang populer, mengambil yang layak diterima, memodifikasi serta menolak yang tidak sesuai. Hasil kerja mereka ini ditransformasikan dalam hukum islam. Kemudian hasil tersebut terserah kepada penguasa dan individu Muslim untuk melaksanakan hokum tersebut. Joseph Schacht menyimpulkan bahwa hokum islam itu berasal dari periode Umayyah.
Sunnah dan tradisi yang hidup di Masyarakat
            Konsep sunnah nabi merupakan sumber yang outentik menurut  para tradisionalis. Schacht, sebaliknya, menurut pendapatnya  bahwa istilah  “ sunnah Nabi “ secara outentik dapat di buktikan melalui surat yang dikirim oleh ‘Abdullah ibd Ibad, seorang pemimpin Khawarij, kepada Khalifah Umayyah yang bernama “abdul Malik sekitar tahun 76 H/695 M. hasan Al-Basri juga menulis risalah untuk Malik , menggunakan istilah yang sama namun dalam konotasi teologi. Godziher juga berpendapat bahwa istilah  itu milik orang Arab yang di ambil alih oleh orang islam. Morgoliuth menyimpulkan bahwa sunnah sebagai prinsip hukum mulanya di maksudkan seagai ideal atau pengguna yang normatif  di dalam masyarakat , hanya kemudian istilah itu dipergunakan dalam makna yang sempit yakni preseden yang dietapkan oleh Nabi Muhammad.
            Schacht percaya selama tujuh puluh tahun sejarah islam berlalu, konsep   sunnah tidak begitu di kenal dalam masyarakat islam. Schacht berpengang pada pendapat bahwa istilah sunnah itu sendiri maksudnya tidak lain pada presiden atau “jalan hidup “. Dia mengutip dari Ibd Muwaffa, seorang sekertaris Negara pada ahkir pemerintahan Umayyah, yang berpendapat bahwa sunnah, yang di pahami pada masa tersebut , bukan di dasarkan pada presiden yang di perbuat oleh Nabi  maupun para Khalifah Islam, melainkan sebagaian besar di dasarkan pada regulasi administrasi pemerintahn Umayyah. Yang bebas untuk mengodisifikasi dan menciptakan sunnah adalah Khalifah.
            Kemudian Schacht menyebutkan sunnah yang di fahami oleh sekolah hukum terdahulu itu sebagai “tradisi hidup “ . dia menguatkan pendapatnya dengan bukti dari teks-teks yang di tulis oleh orang Madinah. Contohnya  Muwatta’  Imam Malik, ada mengutip hadist  mursal tentang hak suf’ah, dengan otoritas dari Ibd Musayyib dan Abu Salman  b. Abd al-Rahman, dan Malik yang berpendapat “ Hasilnya sama dengan sunnah yang tidak ada perselisihan di antara kita “ . kemudian ada yang mendengar pertanya masalah suf’ah  pada Ibn Musayyib dan Sulaiman b Yasar: apakah ada sunnah tentang hak suf’ah? Mereka menjawab ada, kemudian menjawab masalah hukum tersebut.  Padahal menurut Schacht, pada masa tesebut belum ada hadist maupun dari sahabat tentang masalah tersebut. Hadist mursal tersebut datang belakangan. Schacht bermaksud menunjukkan bahwa ungkapan yang ada di kitab  Muwatta’  memberikan implikasi  bahwa sunnah menurut Imam Maliktidak indentik dengan matan hadist yang berasal ari Nabi.
            Ulama Irak memandang sunnah sama dengan ulam Madinah. Dengan referensi sebuah pernyataan ulama Irak “ Kami melaksanakan in berdasarkan sunnah. Schacht berkata bahwa mereka menggunakan sunnah sebagai argumen walaupun mereka tidak bisa menyebutkan hadist yang relevan terhadap masalah yang di persoalkan. Kemudian Schacht menyimpulkan :
Sunnah nabi yang dipahami oleh ahli Irak tidak indentik dengan dengan apa yang di ekpresikan Nabi. Hal itu tidak lain karena tradisi yang hidup pada Mazhab  dinisbahkan ke masa Nabi. Kosep ini juga tidak dapat di anggap umum bagi semua mazhab, tidak juga di antara ahli Syiria dan ahli Irak. Bukti-bukti menunjukkan secara pasti kepada Irak sebagai sunnah nabi ini. Para ahli Iraklah yang lebih familiar terhadap konsep sunnah Nabi sebelum era Syafi’I, bukan ahli Madinah.
            Sarjan barat yang mempunyai pendapat hamper sama dengan Schacht adalah G. H.A. Juynboll. Dapt di katakana dia mendukung sebbagian besar tesis dan argument yang di sampaian oleh Schacht.  Dia menyimpulkan konsep sunnah baru mulai diindentifikasikan dengan Nabi sekitar enam atau tujuh puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat, yakni menjelang ahkir pertama abad hijrah. Dia merujuk kepada Khalifah islam Abu bakar, Umar dan Usman sebagai awal dari kekhalifahan islam setelah Nabi Muhammad wafat. Dari ketiganya Juynboll menyimpulkan ketiga khalifah islam tersebut lebih bertumpu pada keputusan mereka sendiri, sedikit sekali yang keputusannya merujuk kepada yang ditetapkan oleh Rasul.
            Juynboll disini bermaksud meyakinkan kita bahwa konsep sunnah tidak selalu indentik dengan Nabi, orang lain juga dapat menciptakan sunnah . contohnya adalah Umar Abdal’ Aziz, tokoh yang ditonjolkan dalam sejarah sebagai promoter sunnah Nabi, ternyata juga mengambil sunnah dari yang lain. Merupakan bukti jelas salah ucapannya yang dikutip oleh Abd al-Hakam dalam sirat Umar ibd Abdal Aziz :sanna rasulullah wa wulatul amri ba’dahu…”  karena Umar dilahirkan pada tahun 60 H, maka pantas di asumsikan bahwa ide tentang sunnah Nabi dalam kakus apapun tidak lebih awal dari tahun 80 H.
Sistem Isnad
            Hal lain yang di sampaikan oleh Schacht dala mendukung tesisnya tentang perkembangan hokum islam  berkenaan dengan masalah isnad ( pemakaian sanad). Menurutnya, “ Tidak ada alasan untuk mendukung pendapat bahwa praktek penggunaan isnad itu lebih dini dari permulaan abad kedua hijrah.” Dia merujuk kepada Horivitz yang menyatakan bahwa isnad sudah di praktekkan oleh generasi   al-Zurhri.Menurut Schacht isnad, baru di mulai ketika timbulnya fitnah di kalangan umat islam, nyakni ketika terbunuhnya khalifah dari dinasti Umayyah, Walid b Yazid (126) .
Secara pasti Schacht menyatakan, kita tidak akan menemukan satupun hadist yang berkaitan dengan hokum, yang secara positif dapat dianngap asli. Dia membuktikannya dengan teori e silentio nyakni adalah cara pembuktian bahwa sebuah hadist tidak ada pada suatu masa  adalah dengan menunjuk bahwa hadist tersebut tidak di gunakan  sebagai dalil dalam suatu diskusi hukum, yang merupakan sebuah keharusan kalau memang hadist tersebut ada. Teori ini sangat di dukung oleh Juynboll dengan menambahkan  bahwa kebiasaan bagi kolektor hadist untuk mengumpulkan setiap hadist  yang setelah di kumpulkan oleh para pendahulunya. Kemudian junyboll menarik kesimpulan bahwa semakin hadist tersebut terkenal, maka keluputannya  dapat dijadikan alas an untuk meniadakan keberadaannya, dan semakin mendukung teori e silentio tersebut.
Teori Schacht lainnya yang berkenaan dengan isnad ialah adanya tambahan tokoh-tokoh dalam isnad muntuk mendukung ke absahan senuah riwayat. Kemudian Schacht  juga percaya bahwa semua isnad yang terdiri dari keluarga adalah isnad palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian, bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadist yang kelihatannya tampa cacat. Dia mengutip Zurqani yang mendiskusikan pertentanga-pertentangan  yang mucul dalam isnad keluarga  dalam beberapa hadit dalam kitab muwatta’.
            Selanjutnya Schacht memperkenalkan teori yang di sebut  common link theory nyakni bahwa seorang tokoh selalu dijadikan penghubung antara dua grup perawi hadist,

Amr ibn .Abi Amr inilah yang disebut sebagai tokoh penghubung yang tampa ragu-ragu diletakkan untuk menghubungkan antara dua kubu perawi di atas.
Juynboll kemudian menyimpulkan bahwa:
·         fenomena ( tokoh penghubung ini ) juga gambaran bagi ahli-ahli hadist abad pertengahan.
·         Dan mereka tidak pernah menjadikan sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadist.
Jadi, kesimpulan Joseph Schacht  yang menyatakan bahwa hukum islam belum ada pada sebagian besar abad pertama hijrah  adalah menyadarkan pendapat nya pada peranan Nabi Muhammad yang non-legalist, al-Quran yang hanya concert masalah norma dan norma hukumm konsep sunnah, teori e silentio, isnad yang diproyeksikan ke belakang  dan teori common link .