Senin, 31 Oktober 2011

PEMBAHASAN TENTANG MASYARAKAT HUKUM ADAT DILIHAT DARI SEGI BENTUKNYA

Sudah menjadi hukum alam sebagai sunatullah/ketentuan yang merupakan takdir Tuhan Yang Maha Esa, bahwa manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri-sendiri, melainkan  yang satu memerlukan yang kepada lainnya (zoon politicon). Agama islam mengajarkan, bahwa manusia dijadikan dari berbagai jenis (laki-laki dan perempuan) dan berbagai jenis kelompok/ suku/ bangsa yang bertujuan satu sama lain, untuk saling berkenalan, saling berkepentingan, saling bekerja sama untuk sama-sama memelihara dan membina kehidupan dari berbagai kebutuhan dan mempertahankan diri dari berbagai ganguan dan ancaman. Tujuan akhir adalah untuk mewujudkan perdamaian, kerukunan dan ketentraman bagi kesejahteraan hidupnya. Karena itulah maka manusia berupaya hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
Van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan bahwa untuk mengetahui hukum, perlu diselidiki pada waktu apapun dan diderah manapun sifat dan susunan badan-badan persteruan hukum, di mana orang-orang yang di kuasai oleh hukum itu hidup dan berkembang. Sedangkan Ter Haar menegaskan bahwa di seluruh kepulauan indonesia pada tingkat rakyat jelata terhadap golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan batin. Golangan-golongan itu  mempunyai  tata susunan yang tetap dan kekal dan masing-masing orang mengalami kehidupan yang wajar seuai dengan kodrat alam. Persekutuan hukum semacam itu merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta  memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayan materil dan kekayaan immateril(Surojo Wignjodipuro, 1979: 86)
Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama maka masing-masing mempunyai dasar dan bentuknya. Menurut Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial); kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977;21 dan seterusnya). Dari sudut bentuknya maka masyarakat hukum adat dapat dibagi tiga macam:
a.        Masyarakat yang berdiri sendiri disebut (tunggal ).
b.      Menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah disebut: (beritngkat )
c.       Sedangkan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat (berangkai ).
Dengan demikian dapat di peroleh suatu skema dari dasar dan bentuk masyarakat hukum adat, sebagai berikut:









Secara teoritis, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi, sebagai berikut:
1.      Masyarakat hukum adat genealogis yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai

2.      Masyarakat hukum adat teritorial yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai
3.      Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaiknya; hal itu tergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai
Suatu contoh masyarakat hukum adat yang di ambil berdasarkan data primer, adalah masyarakat hukum adat yang di jumpai di daerah Lampung. Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas; faktor teritorial baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor penting. Kesatuan genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebudayaan) yang di daerah pesisir dinamakan suku-asal. Tidak diketahui dengan pasti apakah wilayah suatu kebudayaan adalah bertepatan dengan daerah kekuasaan para ratu, Umpu maupun Menak. Buay yang pada hakikatnya merupakan clan, mendiami wilayah yang dinamakan Marga (Anek, Pekon atau umumnya dinamakan kampung), yang didiami beberapa suku yang merupakan bagian dari pada buay. Jadi, suatu suku bagian dari clan.
Kadang-kadang, sebuah tiyuh di diami oleh dua, sampai sepuluh suku. Suku-suku tersebut masing-masing mencakup beberapa canki yang merupakan keluarga besar sedangkan canki terbentuk dari beberapa nuwo ( yang merupakan keluarga batih). Nuwo, canki maupun suku, dapat mempunyai tanah yang di kerjakan  yang dinamakan umbul atau umbulan, tanah mana dikerjakan secara kolektif ( tanah di kerjakan secara perorangan disebut “umo”). Mula-mula umbul atau umbulan bersifat semi permanen akan tetapi, mungkin pula menjadi suatu tempat usaha permanen, sehingga tempat-tempat kediaman di sekitarnya, sesuai dengan patokan menurut hukum setempat, dapat di resmikan menjadi canki, suku dan selanjutnya
Jelaslah, bahwa marga dan tiyuh menunjuk pada wilayah, sedangkan buay, suku, canki dan nuwo secara tegas pada suatu kesatuan genealogis. Maka, menurut dasar dan bentuknya, masyarakat Lampung Pepadon merupakan masyarakat hukum adat yang genealogis-teritorial dan bertinggkat. Dengan gambaran sebagai berikut:
Dasar Genealogis                               Dasar Teritorial
Kebudayaan/Buay...........................  Marga
Suku (sub-clan)...............................  Tiyuh
Canki..............................................  Umbulan
Nuwo..............................................  Umbul



Contoh-contoh tersebut di atas masih dapat diperkaya dengan kenyataan-kenyataan yang dapat dijumpai di daerah-daerah lainnya. Daerah Lampung dan Minagkabau diketentgahkan secara singkat, oleh karena dapat menggambarkan betapa rumitnya organisasi masyarakat hukum adat tersebut. Akan tetapi, dengan mempergunakan paradigma tertentu, maka kerumitan tersebut akan tersebut akan dapat diatasi, sehingga akan tersajikan unsur-unsurnya yang pokok saja.



v  KESIMPULAN
Masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan daerah (territorial); kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977;21 dan seterusnya). Dari sudut bentuknya maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri (tunggal ), menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah (bertingkat ), serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat (berangkai ). Masing-masing bentuk masyarakat hukum adat tersebut, dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat dan berangkai.
Secara teoritis, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi, sebagai berikut:
1.      Masyarakat hukum adat genealogis yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai


2.      Masyarakat hukum adat teritorial yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai
3.      Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaiknya; hal itu tergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpenga ruh) yang:
a.       Tunggal
b.      Bertingkat
c.       Berangkai



DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Ismail, H. Badruzzaman, SH, M. HUM, Bunga Rampai Hukum Adat, CV Gua Hira’, Banda Aceh, 2003.
www.google.com
www.wikipedia.com

1 komentar: