Senin, 31 Oktober 2011

ISLAM DAN KEBUDAYAAN



A.     Kebudayaana
1.      Pengertian
Budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan. kultur berasal dari bahasa latin yaitu kata cultura ( kata kerjanya colo,colere). Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan, mengolah ( S.Takdir Alisyahbana, 1986 :205). Soerjono  Soekanto (1993: 188)[1] mengungkapkan hal yang sama. Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa yang di maksud dengan mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah atau bertani.  Arti dasar yang di kandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Istilah kedua yang semakna atau hamper sama dengan Kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (civilization) berasal dari kata latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga Negara ( civitas = Negara kota, dan civilitas = kewarganegaraan ). Kemudian di jelaskan lagi bahwa sivilisasi berhubungan dengan kebudayaan kota yang lebih progesif dan lebih halus. Dalam bahasa Indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata ( civilization).
Menurut S Takdir Alisyahbana ( 1986 : 207-8) pengertian kebudayaan adalah[2] :
·        Kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang komplek yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang di peroleh manusia sebagai anggota masyarakat.
·        Kebudayaan adalah warisan sosial atau tradisi.
·        Kebudayaan adalah cara, aturan, dan jalan hidup.
·        Kebudayaan adalah penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan.
·        Kebudayaan adalah hasil perbuatan atau kecerdasan manusia.
·        Kebudayaan adalah hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
2.      Unsur-unsur dan Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur yang merupakan bagian dari suatu keutuhan  yang tidak dapat dapat dipisahkan. Menurut pandangan Malinowski unsur-unsur kebudayaan adalah sebagai berikut[3] :
·        Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerja sama antara para anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekitarnya.
·        Organisasi ekonomi.
·        Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan ( keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama).
·        Organisasi kekuatan ( Soejono Soekanto 1993: 192)
Kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Hasil karya masyarakat melahirkan teknologi atau kebudayaan yang mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat. Sedikitnya meliputi tujuh unsur teknologi, yaitu:
(1) alat-alat produksi,
(2) senjata,
(3) wadah,
(4) makanan dan minuman
(5) pakaian dan perhiasan,
(6) tempat berlindung dan permahan,
(7) alat-alat transportasi ( Soejono Soekanto, 1993: 194-5)
            Karsa masyaraka mewujudkan norma dan nilai-nilai yang sangat perlu untuk tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Untuk melindungi diri sendiri, manusia menciptakan kaidah-kaidah yang pada hakikatnya merupakan petunjuk-petunjuk tentang cara bertindak dan berlaku dalam hidup manusia. Manusia bagai manapun hidupnya, akan selalu menciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri. Kebiasaan pribadi disebut habit. Habit  yang dijadikan kebiasaan yang teratur oleh seseorang , kemudian dijadikan dasar hubungan antara orang-orang tertentu sehingga tingkah laku atau tindakan masing-masing dapat di atur dan kesemuanya itu meninbulkan norma dan kaidah.
            Kaidah yang timbul dalam suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhannya pada suatu saat dinamakan adat-istiadat (custom). Adat-istiadat yang mempunyai akibat hokum disebut hukum adat. Berlakunya kaidah dalam suatu kelompok manusia bergantung pada kekuatan kaidah tersebut  sebagai petunjuk tentang cara-cara seseorang untuk berlaku dan bertindak. Artinya, kebudayaan berfungsi selama masyarakat menerimanya sebagai petunjuk perilaku yang pantas ( Soerjono Soekanto 1993: 199)[4]
B. Hubungan islam dan kebudayaan
            Untuk mengetahui sejau mana hubungan islam dan budaya, ada beberapa pendapat dari beberapa ilmuan. Mari kita lihat ulasan berikut.
            Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. sebagian besar budaya berdasarkan agama, tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agam adalah primer, dan adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadah agama, dan tidak pernah sebaliknya ( nurcholish madjid dalam yustion dkk. (dewan redaksi, 1993: 172 -3).
             Harun nasution[5] ( lihat parsudi suparlan (ed.), 1982: 18),  menjelaskan agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang di wahyukan Tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran-ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama.
            Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolute, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa di ubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah absolute, tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat di sesuaikan dengan perkembangan zaman. (Harun nasutio dalam parsudi suparlan, 1982: 18).
C. Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan. Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
·        Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.
·        Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam ,
Kebudayaan ini kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
·        Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash,
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim MA , Drs. Atang dan Mubarok, DR Jaih. 2000. Metodologi Studi Islam.
Bandung; PT Remaja Rosda Karya
Nata MA, Prof Dr H Abduddin. 2010.  Metodologi Studi Islam. Jakarta; Rajawali
Pers,




[1]Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Metodologi Studi Islam, ( Bandung, Remaja Rosda Islam, 2000 ) hlm : 27
[2] Ibid., hlm. 28
[3] Ibid., hlm. 31
[4] Ibid., hlm. 23.
[5] Ibid., hlm. 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar