Senin, 31 Oktober 2011

PENDAPAT YANG MENENTANG KEBERADAAN HUKUM ISLAM PADA ABAD PERTAMA HIJRAH

            Pendapat para sarjana Barat tentang hokum Islam dan peranan Nabi Muhammad sebagai pembentuk hukum Islam. Joseph Shacht menyatakan bahwa hukum islam belum ada pada abad pertama hijrah, karena Nabi tidak memiliki alasan untuk mengubah adat yang berlaku pada masa itu dal;am masyarakat, disebabkan Nabi ada hanya uuntuk mengajari manusia berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat agar dapat di masukkan ke dalam syurga.
Muhammad dan Al- Qur’an
            Menurut Schacht, ketika berada di Mekkah, Muhammad menyatakan bahwa dirinya sebagai “pembawa pesan dari Allah” yang sangat tidak senang ketika kaum kafir Quraisy menuduhnya sebagai kahin. Ketika membacakan ayat-ayat Al-Qur’an Muhammad tidak lebih seperti para kahin  yang sedang membaca jampi-jampi, sama halnya jika memerankan penengah di antara kasus-kasus yang terjadi meruapakan peran para kahin, begitulah menurut mereka. Schacht  mencontohkan peran Nabi Muhammads ketika menjadi hakam dalam kasus perkawinan.
            Schacht juga menambahkan bahwa Muhammad mempunyai doronga politik yang kuat, di mana  setelah berhasil imigrasi ke Madinah ia membangun masyarakat baru sebagai sebuah peningkatan dalam ambisi potiliknya. Ia hanya tertarik pada permasalahan politik dibandingkan permasalahn hukum. Pernyataan ini sejaln sebaimana Ignaz Goldziher, yang mengatakan: “ketika di Madinah Muhammad juga masih memerankan perannya sebagai ‘pemberi peringatan’, yang kerasulannya berubah mejadi bentuk yang baru yaitu tidak hanya sebagai penyampai  wahyu. Tapi, menjadikannya sebagai penyerang, penakluk, dan kepala Negara.”
            Muhammad dalam upaya meraih ambisi politiknya, menurut Schacht, memerlukan sistem kombinasi, yaitu tugas-tugas hukum dan kewajiban-kewajiban moral yang didukung dengan semangat agama. C. Snouck Hurgronje mengatakan: “Muhammad sadarbahwa Ia tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk menangani masalah-masalah hukum, kecuali jika keadaan telah sangat mendesak.” Emile Tyan sejalan dengannya menyatakan: “seseorang akan sangat mudah meneliti hasil kerja Muhammad yang tidak bertujuan untuk membentuk sistem hukum baru maupun legislasi baru.” Hal tersebut dibuktikan dengan dikembangkannya ajaran-ajaran dari luar. Contohnya adalah larangan pengambilan riba yang merupakan inspirasi dari pergaulannya dengan Yahudi Madinah, dan prinsip retaliasi terhadap pembunuhan dan pencacatan tubuh yang didasari oleh Perjanjian lama Yahudi.
            Menurut Schacht Al-Qur’an hanya focus kepada etika dan norma-norma hukum, seperi anjuran untuk memenuhi perjanjian, memberikan kesaksian, dan tidak menipu. Al-Qur’an tidak menjelaskan akibat-akibat hukum yang tergambar dengan jelas di dalamnya. Hanya ada ancaman neraka terhadap orang yang berbuat dosa.
            Al-Qur’an hanya mengulangi sesuatu yang terjadi pada masyarakat pra-Islam seperti menuliskan sebuah perjanjian, menghadirkan saksi, member garansi bila tidak ada saksi, memenuhi kontrak yang telah disetujui, dan mengembalikan amanah. Al-Qur’qn juga mengenalkan hukum perang yang merupakan kebiasaan pra-Islam. Al-Qur’an memperkenelkan hukum family yang mengatur perlakuan terhadap wanita, anak-anak, anak yatim, dan budak.
            Sikap hukum Al-Qur’an dan ambisi politik yang ada pada Muhammad berjalan seiring. Sehingga dapat dikatakan bahwa Muhammad tidak berperan sedikitpun dalam pembentukan hukum Islam.
Abad Pertama Hijrah
            Pendapat yang dikemukakan Joseph Schacht dalam mendukung teorin ya adalah keadaan setelah Nabi Muhammad wafat. Saat itu, kekuasaan politik dipegang oleh khalifah. Juynboll pendukung teori Schacht, menjelaskan bahwa sistem yang ditetapkan saat itu disesuaikan menurut standar masing-masing. Permasalahan yang timbul diselesaikan menurut jalan pikikran masing-masing, walaupun masyarakat diatur atas dasar semangat kerasulan.
            H.A. R Gibb menyatakan istialh sunnah adalah kebiasaan dalam sebuah komunitas yang disampaikan secara lisan. Menurut Ignaz Goldziher, Islam tidak perlu menciptakan konsep sunnah dalam praktek hidup, karena pada masyarakat Arab pra-Islam sunnah berarti peraturan  yang sesuai dengan tradisi Arab dan warisa nenek moyang, serta adat kebiasaan, istilah sunnah tetap dipergunakan seperti sebelumnya hanya saja sedikit dipengaruhi oleh Islam.
            Dalam konsep para suksesor Nbi Muhammad dan masyarakat Islam, Sunnah adalah segala perbuatan yang dapat dibuktikan atau pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Oleh sebab itu, konsep sunnah merupakan variasi dari konsep Arab kuno.
            Menurut Schacht, dua kalifah islam, abu Bakar dan Umar memakai istilah sunnah bukan dalam konteks hokum, melainkan dalam konteks politik yang berarti kebijaksanaan dan adminisrtrasi Kekalifahan. Pada daerah di luar arab, konsep sunnah juga digunakan dan di kombinasikan  dengan sunnah yang ada pada daerah taklukannya untukmenyelesaikan persoalan masyarakat muslim. Ini membuktikan islam sebagai agam yang flrksibel pada masyarakat daerah tersebut. Kemudian Schacht menyimpulkan bahwa pada abad pertama hijrah, hokum islam dalam istilah teknis, belum muncul.sama halnya pada masa nabi Muhammad, hukum seperti tersebut berada di luar agama.
            Masih menurut Schacht, periode dinasti Umayyah  merupakan periode yang sangat menentukan dalam perkembangan hukum islam, sebenarnya dinasti umayyah tidak terlalu concent terhadap agama dan perangkat hokum lainya, akan tetapi mereka lebih memfokuskan diri pada administrasi bidang politik. Kemudian seiring berjalannya waktu mereka berhasil menetapkan apa yang disebut sebagai jalan hidup yang islami. Mereka juga mensurvei lapangan hokum termasuk administrasi dan praktek-praktek hokum yang populer, mengambil yang layak diterima, memodifikasi serta menolak yang tidak sesuai. Hasil kerja mereka ini ditransformasikan dalam hukum islam. Kemudian hasil tersebut terserah kepada penguasa dan individu Muslim untuk melaksanakan hokum tersebut. Joseph Schacht menyimpulkan bahwa hokum islam itu berasal dari periode Umayyah.
Sunnah dan tradisi yang hidup di Masyarakat
            Konsep sunnah nabi merupakan sumber yang outentik menurut  para tradisionalis. Schacht, sebaliknya, menurut pendapatnya  bahwa istilah  “ sunnah Nabi “ secara outentik dapat di buktikan melalui surat yang dikirim oleh ‘Abdullah ibd Ibad, seorang pemimpin Khawarij, kepada Khalifah Umayyah yang bernama “abdul Malik sekitar tahun 76 H/695 M. hasan Al-Basri juga menulis risalah untuk Malik , menggunakan istilah yang sama namun dalam konotasi teologi. Godziher juga berpendapat bahwa istilah  itu milik orang Arab yang di ambil alih oleh orang islam. Morgoliuth menyimpulkan bahwa sunnah sebagai prinsip hukum mulanya di maksudkan seagai ideal atau pengguna yang normatif  di dalam masyarakat , hanya kemudian istilah itu dipergunakan dalam makna yang sempit yakni preseden yang dietapkan oleh Nabi Muhammad.
            Schacht percaya selama tujuh puluh tahun sejarah islam berlalu, konsep   sunnah tidak begitu di kenal dalam masyarakat islam. Schacht berpengang pada pendapat bahwa istilah sunnah itu sendiri maksudnya tidak lain pada presiden atau “jalan hidup “. Dia mengutip dari Ibd Muwaffa, seorang sekertaris Negara pada ahkir pemerintahan Umayyah, yang berpendapat bahwa sunnah, yang di pahami pada masa tersebut , bukan di dasarkan pada presiden yang di perbuat oleh Nabi  maupun para Khalifah Islam, melainkan sebagaian besar di dasarkan pada regulasi administrasi pemerintahn Umayyah. Yang bebas untuk mengodisifikasi dan menciptakan sunnah adalah Khalifah.
            Kemudian Schacht menyebutkan sunnah yang di fahami oleh sekolah hukum terdahulu itu sebagai “tradisi hidup “ . dia menguatkan pendapatnya dengan bukti dari teks-teks yang di tulis oleh orang Madinah. Contohnya  Muwatta’  Imam Malik, ada mengutip hadist  mursal tentang hak suf’ah, dengan otoritas dari Ibd Musayyib dan Abu Salman  b. Abd al-Rahman, dan Malik yang berpendapat “ Hasilnya sama dengan sunnah yang tidak ada perselisihan di antara kita “ . kemudian ada yang mendengar pertanya masalah suf’ah  pada Ibn Musayyib dan Sulaiman b Yasar: apakah ada sunnah tentang hak suf’ah? Mereka menjawab ada, kemudian menjawab masalah hukum tersebut.  Padahal menurut Schacht, pada masa tesebut belum ada hadist maupun dari sahabat tentang masalah tersebut. Hadist mursal tersebut datang belakangan. Schacht bermaksud menunjukkan bahwa ungkapan yang ada di kitab  Muwatta’  memberikan implikasi  bahwa sunnah menurut Imam Maliktidak indentik dengan matan hadist yang berasal ari Nabi.
            Ulama Irak memandang sunnah sama dengan ulam Madinah. Dengan referensi sebuah pernyataan ulama Irak “ Kami melaksanakan in berdasarkan sunnah. Schacht berkata bahwa mereka menggunakan sunnah sebagai argumen walaupun mereka tidak bisa menyebutkan hadist yang relevan terhadap masalah yang di persoalkan. Kemudian Schacht menyimpulkan :
Sunnah nabi yang dipahami oleh ahli Irak tidak indentik dengan dengan apa yang di ekpresikan Nabi. Hal itu tidak lain karena tradisi yang hidup pada Mazhab  dinisbahkan ke masa Nabi. Kosep ini juga tidak dapat di anggap umum bagi semua mazhab, tidak juga di antara ahli Syiria dan ahli Irak. Bukti-bukti menunjukkan secara pasti kepada Irak sebagai sunnah nabi ini. Para ahli Iraklah yang lebih familiar terhadap konsep sunnah Nabi sebelum era Syafi’I, bukan ahli Madinah.
            Sarjan barat yang mempunyai pendapat hamper sama dengan Schacht adalah G. H.A. Juynboll. Dapt di katakana dia mendukung sebbagian besar tesis dan argument yang di sampaian oleh Schacht.  Dia menyimpulkan konsep sunnah baru mulai diindentifikasikan dengan Nabi sekitar enam atau tujuh puluh tahun setelah Nabi Muhammad wafat, yakni menjelang ahkir pertama abad hijrah. Dia merujuk kepada Khalifah islam Abu bakar, Umar dan Usman sebagai awal dari kekhalifahan islam setelah Nabi Muhammad wafat. Dari ketiganya Juynboll menyimpulkan ketiga khalifah islam tersebut lebih bertumpu pada keputusan mereka sendiri, sedikit sekali yang keputusannya merujuk kepada yang ditetapkan oleh Rasul.
            Juynboll disini bermaksud meyakinkan kita bahwa konsep sunnah tidak selalu indentik dengan Nabi, orang lain juga dapat menciptakan sunnah . contohnya adalah Umar Abdal’ Aziz, tokoh yang ditonjolkan dalam sejarah sebagai promoter sunnah Nabi, ternyata juga mengambil sunnah dari yang lain. Merupakan bukti jelas salah ucapannya yang dikutip oleh Abd al-Hakam dalam sirat Umar ibd Abdal Aziz :sanna rasulullah wa wulatul amri ba’dahu…”  karena Umar dilahirkan pada tahun 60 H, maka pantas di asumsikan bahwa ide tentang sunnah Nabi dalam kakus apapun tidak lebih awal dari tahun 80 H.
Sistem Isnad
            Hal lain yang di sampaikan oleh Schacht dala mendukung tesisnya tentang perkembangan hokum islam  berkenaan dengan masalah isnad ( pemakaian sanad). Menurutnya, “ Tidak ada alasan untuk mendukung pendapat bahwa praktek penggunaan isnad itu lebih dini dari permulaan abad kedua hijrah.” Dia merujuk kepada Horivitz yang menyatakan bahwa isnad sudah di praktekkan oleh generasi   al-Zurhri.Menurut Schacht isnad, baru di mulai ketika timbulnya fitnah di kalangan umat islam, nyakni ketika terbunuhnya khalifah dari dinasti Umayyah, Walid b Yazid (126) .
Secara pasti Schacht menyatakan, kita tidak akan menemukan satupun hadist yang berkaitan dengan hokum, yang secara positif dapat dianngap asli. Dia membuktikannya dengan teori e silentio nyakni adalah cara pembuktian bahwa sebuah hadist tidak ada pada suatu masa  adalah dengan menunjuk bahwa hadist tersebut tidak di gunakan  sebagai dalil dalam suatu diskusi hukum, yang merupakan sebuah keharusan kalau memang hadist tersebut ada. Teori ini sangat di dukung oleh Juynboll dengan menambahkan  bahwa kebiasaan bagi kolektor hadist untuk mengumpulkan setiap hadist  yang setelah di kumpulkan oleh para pendahulunya. Kemudian junyboll menarik kesimpulan bahwa semakin hadist tersebut terkenal, maka keluputannya  dapat dijadikan alas an untuk meniadakan keberadaannya, dan semakin mendukung teori e silentio tersebut.
Teori Schacht lainnya yang berkenaan dengan isnad ialah adanya tambahan tokoh-tokoh dalam isnad muntuk mendukung ke absahan senuah riwayat. Kemudian Schacht  juga percaya bahwa semua isnad yang terdiri dari keluarga adalah isnad palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian, bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadist yang kelihatannya tampa cacat. Dia mengutip Zurqani yang mendiskusikan pertentanga-pertentangan  yang mucul dalam isnad keluarga  dalam beberapa hadit dalam kitab muwatta’.
            Selanjutnya Schacht memperkenalkan teori yang di sebut  common link theory nyakni bahwa seorang tokoh selalu dijadikan penghubung antara dua grup perawi hadist,

Amr ibn .Abi Amr inilah yang disebut sebagai tokoh penghubung yang tampa ragu-ragu diletakkan untuk menghubungkan antara dua kubu perawi di atas.
Juynboll kemudian menyimpulkan bahwa:
·         fenomena ( tokoh penghubung ini ) juga gambaran bagi ahli-ahli hadist abad pertengahan.
·         Dan mereka tidak pernah menjadikan sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadist.
Jadi, kesimpulan Joseph Schacht  yang menyatakan bahwa hukum islam belum ada pada sebagian besar abad pertama hijrah  adalah menyadarkan pendapat nya pada peranan Nabi Muhammad yang non-legalist, al-Quran yang hanya concert masalah norma dan norma hukumm konsep sunnah, teori e silentio, isnad yang diproyeksikan ke belakang  dan teori common link .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar